Sahira Bint Azhari. Powered by Blogger.
RSS

ETIKA SAFAR BAGI MUSLIMAH DAN HUKUM SAFARNYA TANPA MAHRAM


Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,
bismillaah,


Etika Safar

Diantara kita tentu pernah melakukan perjalanan (safar); baik itu perjalanan untuk menuntut ilmu, berziarah kepada famili atau sekedar berekreasi. Untuk itu, kita semestinya memperhatikan adab bersafar, sehingga sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut kami ketengahkan perihal adab bersafar, yang kami angkat berdasarkan maraji Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Daar Ibnul Jauzi KSA, Cet. VI, Tahun 1422H.


SUNNAH BEPERGIAN PADA HARI KAMIS DAN PADA PERMULAAN SIANG, YAKNI SEKITAR WAKTU DHUHA

عَنْ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ في غَزِوَةِ تَبُوْكَ يَوْمَ الخَمِيْسِ وَ كَانَ يُحِبُّ أنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الخَمِيْسِ

Dari Ka’b bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm pergi menuju perang Tabuk pada hari Kamis, dan Beliau menyukai bepergian pada hari Kamis.” [1]

عَنْ صَخْرٍ بنِ وَدَاعَةَ الغَامِدِيِّ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم قَالَ ((اللهمَّ بَارِكْ لأمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا )) وَ كَانَ إذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ مِنْ أوَّلِ النَّهَارِ. وَ كَانَ صَخْرٌ تَاجِرًا فَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ أوَّلَ النَّهَار، فَأثْرَى وَ كَثُرَ مَالُهُ

Dari Shakhr bin Wada’ah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa: “Ya, Allah. Berkahilah umatku pada permulaan siang mereka”. Dan jika ingin mengutus pasukan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka pada permulaan siang (pada waktu Dhuha). Dan Shakhr adalah seorang pedagang. Dia mengirim utusan dagangnya pada permulaan siang, hingga ia menjadi kaya dan mendapat harta yang banyak.[2]

DISUNNAHKAN MEMBACA DO’A KETIKA MENAIKI KENDARAAN

عَنِ ا بِنِ عُمَر رضي الله عَنهما أنَّ رَسوُلَ الله صلى الله عليه و سلم كَانَ إذَا اسْتَوَى عَلَى بِبَعِيْرِهِ خَارِجًا إلى السَّفَرِ كَبَّرَ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ (( سُبْحَانَ الََّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَ مَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ إنَّا إلى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. اللهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَ التَقْوَى وَ مِنَ العَمَلِ مَا تَرْضَى . اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللهُمَّ أنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ وَ الخَلِيْفَةُ في الأهْلِ اللهُمَّ إنّيِ أعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَ كَآبَةِ المَنْظَرِ وَ سُوْءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَ الأهْلِ وَ الَوَلَدِ)).

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki kendaraan ketika hendak bepergian, Beliau bertakbir sebanyak tiga kali, kemudian berdoa: “Maha Suci Dzat yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami dahulu tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kepada Rabb kamilah, kami akan kembali. Ya, Allah! Kami mohon kepadaMu dalam perjalanan kami ini kebajikan dan takwa, serta amal yang Engkau ridhai. Ya, Allah! Mudahkanlah perjalanan kami ini, serta dekatkanlah jarak perjalanan kami. Ya, Allah! Engkaulah teman dalam perjalanan, dan penjaga keluarga yang kami tinggal. “Ya, Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam perjalanan, kesedihan serta tempat kembali yang buruk dalam keluarga, harta dan anak”.

Dan jika kembali dari perjalanan, disunnahkan membaca do’a di atas, kemudian ditambah dengan lafazh: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ (Kami kembali kepada Allah dengan bertaubat, menyembah dan memujiNya).[3]

DALAM BEPERGIAN DISUNNAHKAN TIDAK SENDIRIAN, TETAPI BERSAMA TEMAN DAN MENUNJUK SALAH SEORANG SEBAGAI KETUA ROMBONGAN YANG MEMIMPIN PERJALANAN

غَنْ بْنِ عُمَرَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( لَوْ أنَّ النَّاسَ يَعْلَمُوْنَ مِنَ الوَحدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَافَرَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ))

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Seandainya saja manusia mengetahui apa yang aku ketahui tentang bahaya kesendirian, niscaya tak ada seorang pun yang mau bepergian pada malam hari seorang diri.” [4]

Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan sinyalemen adanya bahaya yang menghadang dalam perjalanan, dikarenakan bepergian sendirian. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya, karena dikhawatirkan adanya bahaya yang datang dari segala penjuru, syethan akan menghampirinya, membisikkan rasa was-was, serta menggodanya dalam perjalanan untuk melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:

عَنٍ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍعَنْ أبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم ((الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ و الرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَ الثَّلاَثَةُ رَكْبٌ))

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Orang yang bepergian sendirian adalah (bersama) syethan. Dan orang yang bepergian berdua adalah (bersama) dua syethan. Sedangkan orang yang berpergian bertiga adalah rombongan musafir (yang tidak dihampiri syethan).” [5]

Mengomentari hadits tersebut, Syaikh Salim menunjukkan adanya faidah yang bisa diambil, sebagai berikut :[6]
• Syethan akan menemani seseorang yang bepergian sendirian.
• Bepergian seorang diri akan mengundang syethan untuk menghampirinya. Hal seperti ini merupakan kebiasaan yang dilakukan syethan.
• Syethan menjauh dari kelompok musafir yang banyak (berjumlah di atas tiga orang), karena kelompok tersebut saling menolong sesama mereka, dan bahu-membahu dalam mengenyahkan kesulitan yang menimpa salah seorang dari mereka.
• Wajibnya bepergian dengan berjama’ah, minimal tiga orang.

Bila seseorang bepergian seorang diri, tentu ia tidak memiliki kawan yang akan menolongnya jika tertimpa kesulitan. Misalnya, seperti sakit dalam perjalanan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan pertolongan orang lain.
Dalam larangan bepergian sendirian ini terdapat hikmah bagi keselamatan seorang mukmin. Memang benar, seorang mukmin harus bertawakal dan menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun, bertawakal kepada Allah tidak berarti menafikan sebab. Karena meminta bantuan kepada manusia yang hadir dan mampu dikerjakannya, diperbolehkan syari’at.

Larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, bukan berarti kita menggantungkan diri secara mutlak kepada teman perjalanan. Sama sekali tidak! Akan tetapi, kita diperintah untuk mengambil sebab yang mengantarkan kepada keselamatan, dan sebagai pencegah terjerumusnya si musafir ke dalam maksiat atau madharat lainnya.

Oleh karena itu, sebagai muslim, selayaknya kita memahami larangan Rasulullah n tersebut, serta menyikapinya dengan benar. Seorang mukmin hendaknya bersemangat mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. karena, berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah adalah orang yang paling faham yang bermanfaat dan yang membahayakan umatnya.

Adapun petunjuk agar mengangkat seseorang untuk memimpin perjalanan, tertuang dalam sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

عَنِ أبِيْ سَعِيْدٍ وَ ابِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عننهما قَالا: قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ ))

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhuma, mereka berdua berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika ada tiga orang yang keluar hendak bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” [7]

Seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin rombongan, hendaklah orang yang shalih dan mampu mengemban tugas kepemimpinan dalam perjalanan. Karena ia memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Dia harus mampu mengambil keputusan yang benar pada saat-saat genting, saat rombongan menghadapi masalah, serta tugas-tugas lain yang menuntut kemampuannya untuk bertindak bijak dan tepat demi kemaslahatan rombongan. Demikian juga perintah pimpinan rombongan harus ditaati oleh setiap personil rombongan tersebut, selama mereka berada dalam perjalanan. Kepemimpinan seseorang dalam perjalanan, tidak sama dengan kepemimpinan khilafah atau pemimpin kaum muslim di suatu negeri. Kepemimpinan dalam perjalanan akan berakhir ketika perjalanan mereka telah usai.

MEMPERHATIKAN ADAB-ADAB KETIKA SINGGAH DAN BERMALAM DI SUATU TEMPAT

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إذَا سَافَرْتُمْ فِيْ الخِصْبِ فَأعْطُوْا الإبِلَ حَظَّهُ مِنَ الأرْضِ ، وَ إذَا سَافَرْتُمْ في الجَدْبِ فَأسْرِعُواْ عَلَيْهَا السَّيْرَ وَ بَادِرُوا بِهَا نِقْيَهَا وَ إذَا عَرَّسْتُمْ فَاجْتَنِبُوْا الطَّرِيْقَ فَإنَّهَا طُرُقَ الدَّوَابِ وَ مَأوَى الهَوَامِّ بِاللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasuulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda,”Jika kalian bepergian dan melewati daerah padang rumput, maka berikanlah unta haknya dari (rumput yang tumbuh di) tanah tersebut. Dan jika kalian melewati daerah tandus, maka percepatlah langkah kalian. Dan jika kalian hendak bermalam, maka janganlah bermalam di jalan, karena ia merupakan tempat lewat hewan dan tempat tinggal serangga pada malam hari.”[8]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan penjelasan tentang cara bersikap dalam perjalanan, ketika melewati tempat yang kondisinya berbeda satu sama lain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyuruh untuk berlaku lemah lembut terhadap hewan. Walaupun diperbolehkan menunggangi hewan dalam perjalanan, namun kita juga harus memeperlakukannya dengan baik, memberikan haknya berupa makan dan minum, serta tidak memberinya beban yang membuatnya menjadi payah dan lelah.

Adab lain yang harus kita perhatikan juga, selama dalam perjalanan agar tetap berkumpul dengan rombongan serta tidak memisahkan diri ketika singgah di suatu tempat. Karena memisahkan diri dari rombongan berarti perpecahan. Sedangkan perpecahan sangat dicintai syethan. Pada perpecahan tersebut terdapat banyak madharat yang harus dihindari oleh kaum mu’minin.

عَنْ أبِيْ ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ رضي الله عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ إذَا نَزَلَ مَنْزِلاً تَفَرَّقُوأ في الشِّعَابِ وَ الأوْدِيَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِيْ هَذِهِ الشِّعَابِ وَ الأوِدِيَةَ إنَّما ذُلُّكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ)). فَلَمْ يَنْزِلُوْا مَنْزِلاً بَعدَ ذلك إلاَّ وَ انْضَمَّ بَعْضُهُمْ إلى بَعْضٍ

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Dahulu, jika para sahabat singgah di suatu tempat, mereka berpencar di bukit-bukit dan lembah-lembah. Maka Rasulullah bersabda,’Sesungguhnya berpencarnya kalian ke bukit-bukit dan lembah-lembah merupakan kehinaan bagi kalian (dan itu berasal) dari syethan’. Maka setelah kejadian itu, mereka tidak singgah di suatu tempat, kecuali mereka bergabung satu sama lainnya.”[9]

Ketika singgah di suatu tempat, kita juga dianjurkan untuk berdo’a, bertakbir ketika berada di tempat yang tinggi, serta bertasbih ketika melewati lembah atau tempat yang rendah.

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيْمٍ رضي الله عَنْهَا قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ
((مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ : أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ الله التَامّاَتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلك))

Dari Khaulah binti Hakim , ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian ia berdo’a, ‘aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari segenap keburukan yang Ia ciptakan’, niscaya tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat tersebut”. [10]

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدَ الله رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا إذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Kami bertakbir, jika menaiki (tempat yang tinggi), dan bertasbih manakala kami menuruni lembah.” [11]

SELAMA DALAM PERJALANAN, DISUNNAHKAN MEMPERBANYAK DO’A, KARENA PADA SAAT ITU DO’A DIKABULKAN

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ المَظْلُوْمِ دَعْوَةُ المُسَافِرِ وَ دَ عْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ ))

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Tiga jenis do’a yang dikabulkan dan tidak diragukan lagi, (yaitu) do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bepergian dan orang tua (ayah) yang mendo’akan (kejelekan) atas anaknya.” [12]

JIKA KEPENTINGANNYA SUDAH SELESAI DISUNNAHKAN SEGERA KEMBALI PULANG DARI SAFAR

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم قال (( السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ يَمْنَعُ أحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ وَ نَوْمَهُ فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَليُعَجِّلِ إلى أهْلِهِ)).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Safar (perjalanan) adalah bagian dari adzab yang mencegah salah seorang kalian dari makan, minum dan tidur. Maka bila salah seorang kalian telah mencapai maksud dari perjalanannya, hendaklah segera kembali kepada keluarganya.” [13]

DISUNNAHKAN KEMBALI DARI SAFAR PADA SIANG HARI, DAN DIMAKRUHKAN KEMBALI PADA MALAM HARI

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى عليه و سلم قَالَ ((إذَا أطَالَ أحَدُكُمُ الغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقَنَّ أهْلَهُ لَيْلاً))

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika salah seorang kalian berpergian dalam jangka waktu yang lama, maka janganlah (kembali dari safarnya dengan) mengetuk pintu pada malam hari.” [14]

DISUNNAHKAN SHALAT DUA RAKA’AT DI MASJID TERDEKAT SEBELUM MENDATANGI RUMAHNYA

عَنْ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ رضي الله أنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه و سلم كَانَ إذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwasannya jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari perjalanan, Beliau mendatangi masjid dan shalat dua raka’at. [15]

WANITA DIHARAMKAN BEPERGIAN TANPA DISERTAI MAHRAMNYA

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( لاَ يَحِلُّ لامْرَأةٍ تُؤْمِنُ بالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةَ يَوْمِ وَ لَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا))

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian dalam jarak sehari semalam, kecuali disertai mahramnya”.[16]

Hadits ini menjelaskan haramnya wanita bepergian tanpa mahram dalam jarak sehari semalam. Tetapi bukan berarti wanita dibolehkan bepergian dengan tanpa mahram jika jaraknya kurang dari sehari semalam, karena ada beberapa hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas haramnya wanita bepergian tanpa mahram secara mutlak (tidak terikat dengan jarak maupun waktu). Diantara hadits-hadits tersebut, adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ (( لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأةٍ إلاَّ وَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ ، وَ لاَ تُسَافِرُ المَرْأةُ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ)). فَقَالَ لَهُ رَجُلٌُ: يَا رَسُوْلَ الله إنَّ امْرَأتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً ، وَ إنِّيْ اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَ كَذَا ؟ قَالَ (( انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأتِكَ ))

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahramnya”. Lalu seorang sahabat berkata kepada Beliau,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya isteriku pergi berhaji, sedangkan aku diperintah untuk turut serta dalam peperangan ini dan itu.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Kembalilah dan berhajilah bersama isterimu.” [17]

Syaikh Salim berkata,”Hadits ini menerangkan larangan yang sangat jelas tidak dibolehkannya seorang wanita bepergian tanpa mahram. Ada beberapa riwayat yang menerangkan batasan jarak (diharamkannya wanita bepergian tanpa mahram). Sebagian riwayat menyebutkan “di atas tiga hari”, dan riwayat yang lain “dua hari”, dan lainnya “jarak (perjalanan) satu hari”, dan yang lainnya “jarak (perjalanan) satu hari satu malam”, dan riwayat yang lainnya lagi “jarak perjalanan beberapa mil”. (Terjadinya perbedaan) riwayat-riwayat tersebut, disebabkan berbedanya orang yang bertanya (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan tempatnya. Akan tetapi, (sesungguhnya) diantara riwayat-riwayat tersebut tidak ada kontradiksi. Wal hasil, wanita dilarang (diharamkan) bepergian tanpa mahramnya selama bepergian tersebut disebut safar.” [18]

Demikianlah sedikit yang biasa kami himpun dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang etika safar. Semoga kita mampu mengambil manfaat dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini dan meneladani Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kehidupan kita, sehingga kita berhak mendapat syafa’atnya dan termasuk orang-orang yang beroleh kesempatan minum dari haudh Belaiu n pada hari kiamat nanti. (Amatullah Ummu Abdillah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Muttafaqqun ‘alaih, dan Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/113-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/199).
[2]. HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits hasan.” Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Hadits hasan dengan syawahidnya dikeluarkan oleh Abu Dawud (2606), Tirmidzi (1212), Ibnu Majah (2236), Ahmad (3/417, 431 dan 4/390) dari jalan Ya’la bin ‘Atha dan ‘Umarah bin Hadid, darinya dengan lafazh hadits di atas.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/199).
[3]. HR Muslim. Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1342).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/211).
[4]. HR Al Bukhari, berkata Syaikh Salim bin Id Al Hilali,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/137, 138- Fathul Bari).”. Lihat Bahjatun Nazhirin (2/200).
[5]. HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan Nasa’i, dengan sanad-sanad yang shahih. Dan berkata Tirmidzi,”Hadits hasan.” Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2.607 dan Tirmidzi no. 1.674 dan Ahmad (2/184 dan 214), dan Hakim (2/102) dari beberapa jalan dari Abdurrahman bin Harmalah dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/201).
[6]. Bahjatun Nazhirin (2/201).
[7]. HR Abu Dawud. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2.608 dan 2.609 dengan sanad hasan.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/201).
[8]. HR Muslim. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/203).
[9]. Hadits shahih, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2.627), Ahmad (4/193), Al Hakim (2/115), Al Baihaqi (6/152), Ibnu Majah (2.690) dari jalan Al Walid bin Muslim (ia berkata): Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin ‘Ala bin Zabr, bahwa ia mendengar Muslim bin Misykam Abu Ubaidillah berkata,”Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Tsa’labah Al Khusyani (kemudian ia menyebutkan hadits tersebut).” Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (2/205).
[10]. HR Muslim, no. 2.708.
[11]. HR Al Bukhari. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/135-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/214).
[12]. HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits hasan.” Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud tidak terdapat tambahan lafazh (عَلَى وَلَدِهِ ). Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Hadits hasan lighairihi. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (32 dan 481), Abu Dawud (1.536), Tirmidzi (1.905), Ibnu Majah (3.862), Ahmad (2/ 248,258,478,517,523) dan Ibnu Hibban (2.699) dan selaim mereka dari beberapa jalan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dari Abu Hurairah.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/217).
[13]. Mutaffaqun ‘alaih, dan Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (3/262-Fathul Bari) dan Muslim (1.927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/220).
[14]. HR Bukhari dan Muslim. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (3/620- Fathul Bari), Muslim (715).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/221).
[15]. Muttafaqqun ‘alaihi. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (8/113-116- Fathul Bari) dan Muslim (2.789). Lihat Bahjatun Nazhirin (1/68).
[16]. Muttafaqun ‘alaih. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (2/566-Fathul Bari) dan Muslim (1.339 dan 421).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/223).
[17]. Muttafaqun ‘Alaih. Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari 4/72-Fathul Bari, dan Muslim (1341).”
[18]. Bahjatun Nazhirin 2/221-222.

Hukum Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram, Syubhat-Syubhat Dan Jawabannya
Kamis, 30 September 2010 02:11:44 WIB
Disusun oleh : Ummu ‘Abdillah As-Salafiyah

SYUBHAT-SYUBHAT DAN JAWABANNYA
1. Ada orang mengatakan bahwa larangan wanita safar tanpa mahram adalah apabila menggunakan angkutan zaman dulu, seperti onta, kuda, atau lainnya, yang wanita akan mengalami kesukaran, kesusahan dan menghabiskan waktu yang lama Adapun wanita yang bersafar menggunakan angkutan zaman sekarang, baik angkutan udara, darat atau laut, maka tidak termasuk keumuman hadits yang melarang wanita safar tanpa mahram.

Kami katakan untuk menjawab terhadap syubhat ini, yaitu: bahwa syariat dan agama kita sesuai untuk setiap zaman dan tempat- Alhamdulillah-. Maka sebagaimana syariat dan agama kita sesuai untuk zaman onta dan pedang, sesuai pula untuk zaman pesawat terbang, roket dan atom. Seandainya agama ini hanya sesuai pada satu zaman saja, seperti agama-agama terdahulu, pastilah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus seorang nabi lagi setelah nabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam padahal pastilah Rabb kita tidak akan melakukan hal tersebut, karena Dia telah berfirman:

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi". [Al-Ahzab: 40]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

"Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku". (HR. Muslim 1920, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2203]

Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan dan melarang mereka dari setiap keburukan serta mengabarkan kepada mereka berbagai cobaan dan bencana-bencana yang akan terjadi sampai hari kiamat. Seandainya syari’at, perintah dan larangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berlaku hanya berlaku untuk satu zaman, maka pastilah beliau sudah menjelaskannya.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

"Tidaklah Rabbmu lupa". [Maryam: 64]

Kemudian sesungguhnya orang-orang yang menyelidiki kejadian-kejadian pelanggaran kehormatan di pesawat terbang, mobil dan angkutan lainnya di zaman sekarang ini, dia akan mendapatkan keyakinan bahwa dahsyatnya bahaya tersebut tetap ada, dan sebab (alasan) yang karenanya nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang wanita safar sendirian tetap berlaku dari zaman dulu sampai sekarang.

Sering kita dengar tentang pembajakan pesawat terbang, sedangkan wanita dapat menimbulkan syahwat, dia lemah dan merupakan incaran para lelaki. Wanita sering dipamerkan untuk kerakusan orang-orang fasiq, padahal mereka seperti serigala yang siap menerkam, mereka menanti kesempatan yang datang untuk dapat menyendiri dengan wanita tersebut dan menyerbunya untuk memproleh kehormatan dan kesuciannya. Kejadian perampasan dan pemerkosaan sudah tidak terhitung jumlahnya, banyak terjadi di negeri kafir dan negeri muslim. Di antara sebab yang paling banyak adalah: bercampur baurnya (ikhtilath) antara laki dan perempuan, laki-laki menyendiri dengan wanita, dan safarnya wanita sendirian tanpa disertai mahram. Maka wanita yang meremehkan masalah ini akan dapat kehilangan kehormatan dan kesuciannya dimana keduanya merupakan perhiasan wanita di setiap zaman dan tempat. Karena keselamatan dien wanita tergantung juga dengan keselamatan kehormatan, kemuliaan dan akhlaqnya. Dan agama tidak akan menjaga wanita kecuali jika dia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kepada bapak-bapak, suami dan penguasa yang menjadi penanggung jawab masalah (Auliya’ul umur) ini, janganlah meremehkan masalah yang berbahaya ini. Padahal dengan mentaati agama dalam masalah ini dan masalah lainnya akan dapat menjaga kehormatan kaum muslimin di setiap waktu dan tempat. Kalau tidak, maka kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan dirasakan oleh umat ini dan adzabNya akan terjadi tanpa kecuali. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". [At-Tahrim : 6]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

""Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad] [Lih. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad Musa Nashr. Hal. 22-25]

2. Sebagian orang mengatakan: “Mengapa wanita dilarang safar kecuali bersama dengan mahramnya?”.

Hakekat syubhat ini menurut mereka adalah "mengapa seorang wanita tidak diberikan kepercayaan yang sempurna pada dirinya? Mengapa harus ada ketakutan yang berlebihan? Hendaklah berbaik sangka kepada wanita dan jangan mengkhawatirkan dirinya".

Padahal sebenarnya keharusan adanya mahram bersama wanita tersebut merupakan penghormatan bagi wanita. Karena mahram ini pada hakekatnya dianggap sebagai khadim (pembantu) yang mengerjakan kebutuhan-kebutuhannya, dan memberikankan ketenangan yang sempurna baginya. Sebagaimana juga mahram dianggap sebagai penjaga kehormatan dan kemuliaannya dari (gangguan) orang-orang rendah dan jelek akhlaqnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أنْ تُسَافِرُ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

"Tidaklah halal (tidak boleh) seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar kecuali bersama dengan mahramnya".

Dan perintah beliau kepada seorang laki-laki yang sudah tercatat untuk mengikuti peperangan agar dia pergi berhaji bersama istrinya. Semua itu adalah untuk kemaslahatan wanita itu sendiri. Hal ini tidak menghilangkan kepercayaan dirinya sendiri, bahkan akan menenangkan jiwanya dan menjamin keselamatannya. Sesungguhnya melepaskan tali kendali bagi wanita untuk bersafar kapan saja dia mau, tanpa disertai mahram akan mengantarkan dirinya dan masyarakat seluruhnya pada malapetaka yang berbahaya. Dan hal tersebut merupakan bahaya yang mengancam keselamatan wanita. Karena orang yang ingin berbuat jahat terhadapnya dan menanti dirinya pastilah akan dapat melakukannya, sehingga merusak kehidupan dan kehormatannya.

Di antara tabi’at wanita adalah lemah badan dan pribadi (jiwa)nya, maka sering dikalahkan oleh laki-laki. Disebabkan kelemahannya, laki-laki sering mempengaruhi wanita dan mencoba agar wanita tersebut bersedia menyerahkan diri dan kehormatannya. Dari sini (diketahui bahwa) mahram bagi wanita dalam bersafar adalah perkara yang wajib. Sebagaimana adanya mahram yang menghalangi wanita khalwat (menyendiri dengan laki-laki yang bukan mahram) adalah suatu perkara yang wajib.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya bencana, dimana syaithan akan menjadi pihak ketiga dalam khalwat ini, sedangkan syaithan adalah musuh besar yang nyata bagi manusia. Semua ini adalah untuk menjaga akhlaq wanita, sampai rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang masih kerabat bagi laki-laki ini, apabila tidak ada mahram bersamanya, seperti saudara laki-laki, paman dari ayah atau paman dari ibu suami. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

"Janganlah kalian menemui wanita (yang bukan mahram). Seorang lelaki dari kalangan Anshar bertanya: “Apa pendapat anda tentang saudara ipar?”. Beliau bersabda: “Ipar adalah maut".

Ipar adalah kerabat suami yang bukan mahram.

Seandainya tidak ada kehati-hatian pastilah syaithan akan mempengaruhi bani Adam, dan pastilah wanita yang akan menjadi korban. Dan jika itu terjadi, para penyeru kebebasan tidak akan dapat membebaskan dari bencana itu.

Kalu demikian, maka apakah mahram -yang menjaga akhlaq wanita, agamanya dan keselamatan hidupnya- itu dianggap mempersempit kebebasan (urusan) nya serta merampas kepercayaan dirinya? Yang benar adalah bahwa hal itu merupakan bagian yang penting dari hak-hak kebebasannya (hak-hak untuk mendapatkan perlindungan-Red) yang hal ini tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang Allah terangi hatinya dengan cahaya iman. [Syubhaatun fi Thariqatil Mar’atil Muslimah, hal: 48-49, karya syeikh Abdullah Al-Jilaaly , sebagaimana dinukil dalam kutaib “Min Mukhalafatin Nisa’, hal: 45-47, jama’a Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As-Sudhaan]

3. Sebagian orang membolehkan seorang wanita diantarkan oleh mahramnya sampai naik pesawat terbang, kemudian mahramnya yang lain akan menjemputnya di negara tujuan. Menurut pendapat mereka pesawat terbang itu aman, karena didalamnya banyak penumpang laki-laki dan perempaun.

Kami katakan kepada mereka: "Ketahuilah bahwa pesawat terbang bahayanya lebih besar daripada kendaraan lain, karena penumpang bercampur baur didalamnya. Kemungkinan wanita tersebut akan duduk di samping laki-laki (yang bukan mahramnya), dan kemungkinan juga pesawat menghadapi sesuatu (cuaca buruk misalnya) yang dapat merubahnya menuju ke bandara yang lain (bukan tujuan). Kalau itu terjadi, maka wanita tersebut tidak akan menemukan mahram yang akan menjemputnya, sehingga ia menghadapi bahaya. Apa yang terjadi pada wanita tersebut di negara yang tidak dia kenal, dan tidak ada mahram baginya di negara tersebut?". [Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu Bil Mukminat, oleh Syeikh Fauzan Al-Fauzan]

Syeikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan kisah sebagai berikut:
"Ada mahram seorang wanita mengantarkannya ke bandara, karena wanita tersebut mempunyai janji dengan suaminya di bandara yang akan ia tuju. Setelah pesawat lepas landas, seorang pramugari yang keji memperhatikan wanita yang sendirian ini, yang ia adalah seorang yang cantik. Lalu pramugari yang keji ini memberitahu pilot pesawat, tentang kecantikan wanita itu dan bahwa dia sendirian. Lalu pilot pesawat merubah arah pesawat dari rutenya yang pertama menuju bandara lain, dengan alasan bahwa ada kerusakan pada pesawat. Setelah pesawat mendarat di bandara itu, pramugari tadi menemani wanita itu menuju keperistirahatan penumpang, dengan keyakinan wanita tersebuat bahwa pramugari ini ingin menemaninya karena dia sendirian. Setelah pramugari tadi menyiapkan tempat yang cocok, kemudian dia memberi tahu pilot, bahwa segala sesuatunya seperti yang dia inginkan. Lalu pilot tersebut segera menuju ke tempat itu, kemudian menemui wanita tadi. Dan di sini terjadilah perbuatan yang keji. Setelah itu para penumpang menaiki pesawat dan melanjutkan perjalanan mereka sehingga sampai ke bandara tujuan. Di sana mahram wanita tersebut menunggu, lalu wanita tersebut memberitahukan padanya apa yang telah terjadi pada dirinya. Akan tetapi (wahai para wanita) dapat membayangkan bagaimana perasaan mahram wanita tersebut." [Dinukil dari Min Mukhaalafaatin Nisaa’, hal. 47-48].

FATWA ULAMA TENTANG HUKUM SAFAR WANITA TANPA SUAMI ATAU MAHRAM
1. Fatwa Samaahah As-Syaikh Al-‘Alamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah:
Soal: “Apakah seorang wanita dianggap sebagai mahram bagi wanita asing (bukan mahram) dalam safar, bermajlis dan semisalnya atau tidak dianggap mahram?”

Jawab: Seorang wanita bukan mahram bagi wanita lainnya, mahram itu hanyalah laki-laki yang haram menikah dengannya karena nasab, seperti: ayahnya, saudara laki-lakinya, atau dengan sebab mubah seperti suami, ayah suami (mertua), anak suami, dan seperti ayah susuan, saudara laki-laki dari susuan dan semisalnya.

Tidak boleh laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita asing (bukan mahram) dan tidak boleh bersafar dengannya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Wanita tidak boleh safar kecuali bersama dengan mahramnya".

Hadits tersebut disepakati keshahihannya. Dan berdasarkan sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

"Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita karena setan menjadi pihak yang ketiga dari keduanya". [HR. Ahmad]. [Al-Fataawaa / Samahah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz (190) dicetak oleh Muassasah Ad-Da’wah Al-Islamiyah].

2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Soal: "Ada seorang wanita dari Saba’ terkenal sebagi wanita shalihah, dia berumur setengah baya atau mendekati lanjut usia dan dia ingin menunaikan haji, akan tetapi tidak mempunyai mahram (yang dapat menyertainya). Ada laki-laki diantara penduduk negeri itu yang ingin pergi haji, dia terkenal sebagi laki-laki shalih dan dia bersama wanita-wanita dari kalangan mahramnya. Apakah boleh wanita tersebut berhaji bersama laki-laki yang baik ini dan wanita-wanitanya, dan dia berada bersama para wanita sedangkan laki-laki itu mengawasinya, ataukah kewajiban haji gugur darinya karena tidak adanya mahram, sedangakan dia mampu dari sisi harta?. Berilah fatwa kepada kami semoga Allah memberkahimu, karena kami berbeda pendapat dengan beberapa ikhwan.

Al-Lajnah telah menjawab sebagai berikut:
Seorang wanita yang tidak mempunyai mahram tidak wajib haji atasnya, karena mahram termasuk as-Sabiil, dan kesanggupan as-Sabiil adalah syarat dalam wajibnya haji. Allah ta’ala berfirman:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah". [Ali-Imran: 97].

Wanita tidak boleh melakukan bersafar untuk haji atau untuk selainnya, kecuali bersama dengan suami atau mahramnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذي مَحْرَمٍ

"Tidak halal bagi wanita melakukan safar sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya".

Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga dari ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu beliau mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya): "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama dengan mahram wanita tersebut, janganlah seorang wanita safar kecuali bersama dengan mahramnya”. Lalu seorang berdiri dan berkata: “Wahaia Rasulullah sesungguhnya isteriku keluar untuk berhaji, sedangkan aku tercatat untuk mengikuti perang ini dan ini.” Beliau bersabda: “Pergilah dan berhajilah bersama isterimu."

Al-Hasan an-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ashabur Ra’yi telah berpendapat dengan perkataan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Dan itulah yang shahih karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita safar tanpa disertai suami atau mahramnya. Sedangkan Malik, Asy-Syafi’i dan al-Auza’iy menyelisihi dalam hal itu, dan masing-masing mereka memberikan syarat yang tidak ada hujjahnya sama sekali.

Semoga Allah memberikan shalawat kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Majalah ad-Da’wah 7688 – al-Lajnah ad-Da’imah].

3. Fatwa Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Seorang wanita tidak boleh bersafar untuk haji atau untuk selainnya kecuali bersama mahramnya, sama saja baik safarnya tersebut lama atau sebentar, bersama para wanita atau tidak, pemudi ataupun lanjut usia, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama dengan mahramnya".

Hikmah dilarangnya wanita safar tanpa mahram adalah kurangnya akal wanita, kurangnya (kekuatannya untuk) membela dirinya, dan dia adalah incaran para laki-laki. Terkadang dia ditipu, dipaksa atau lemah agamanya lalu keluar disertai syahwatnya, sedangkan pada dirinya terdapat sesuatu yang diinginkan oleh orang-orang yang rakus. Maka mahram-lah yang akan melindunginya, menjaga kehormatannya dan membelanya. Oleh karena itu mahram disyaratkan harus laki-laki yang baligh dan berakal, sehingga tidaklah mencukupi anak kecil yang belum baligh dan tidak pula orang yang tidak berakal.

Mahram adalah suami wanita tersebut dan setiap orang yang haram menikahinya selamanya baik karena sanak saudara (keluarga), susuan atau (keluarga) karena perkawinan. [Al-Manhaj Li Muriidil ‘Umrati Wal Hajji, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin hal: 7].

4. Fatwa Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah Hafidhulullah
Beliau Hafidhulullah berkata: "(Bagi) wanita ditambah syarat yang keenam yaitu adanya suami, atau mahram yang akan bersafar bersamanya untuk haji. Karena tidak halal baginya bersafar untuk berhaji atau selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, seperti: ayah, saudara laki-laki atau anak laki-laki. Sama saja baik didapati teman wanita yang amanah ataupun tidak, baik haji yang wajib ataupun sunnah, baik lanjut usia ataupun gadis.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ وَمَعَهَا ذي مَحْرَمٍ

"Tidak halal bagi wanita safar sejauh sehari semalam (perjalanan) kecuali bersama dengan mahramnya".

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang telah menyiapkan (keperluan) untuk berperang sedangkan isterinya ingin menunaikan haji, agar dia berhaji bersama isterinya dan meninggalkan jihad.

Seaandainya para ulama -yang berpendapat bolehnya wanita safar dengan seorang wanita yang amanah- melihat atau mendengar apa yang terjadi pada zaman kita sekarang ini –padahal perantara-perantara safar telah menjadi mudah, dengan adanya pesawat terbang, mobil atau lainnya, yaitu kejadian yang berupa perampasan pesawat-pesawat terbang, perubahan arah tujuan dan seringnya pendaratan darurat selain pada bandara yang dinginkan, pastilah mereka melihat kembali pada apa yang telah mereka katakan.

Tidaklah aku merasa heran kecuali terhadap sekelompok ahlu ilmi pada zaman sekarang ini, mereka menjadikan mudahnya perantar-perantara (angkutan-angkutan), singkatnya waktu dan semakin singkatnya jarak perjalanan yang jauh sebagai sebab dibolehkannya wanita safar sendirian tanpa mahram atau suami, sedangkan mereka melihat bencana yang terjadi pada manusia secara langsung!

Kepada Allahlah tempat mengadu, aku ingatkan mereka dengan firmanNya Azza wa Jalla :

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

"Dan tidaklah Rabbmu lupa".

[Irsyaadu As-Saary Ilaa ‘Ibaadati al-Baary, hal: 19, 20]

Pada kitab yang sama hal: 41, beliau berkata: (Di bawah judul: masalah-masalah yang khusus tentang haji wanita):

Pertama: Apabila syarat-syarat wajib haji bagi wanita telah terealisasikan kecuali (adanya) suami atau mahram yang menemaninya dalam safarnya, maka telah gugur kewajiban haji darinya.

Kedua: Apabila wanita safar untuk berhaji tanpa ditemani suami atau mahram, maka dia telah berbuat maksiat dengan safarnya ini. Sama saja, baik bersama teman wanita yang amanah ataupun teman wanita yang tidak amanah. Akan tetapi apabila dia telah menunaikan manasik hajji maka hajinya telah sempurna dan gugur kewajiban haji darinya.

Wallahu A’lam Bish-Shawwab.

Semoga Allah k memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:


ShoutMix chat widget

Mau punya buku tamu seperti ini?
Klik di sini